Kabupaten Rembang, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Rembang.
Kabupaten ini berbatasan dengan Teluk Rembang (Laut Jawa) di utara,
Kabupaten Tuban (Jawa Timur) di timur, Kabupaten Blora di selatan, serta
Kabupaten Pati di barat.
Makam pahlawan pergerakan emansipasi wanita Indonesia, R. A. Kartini, terdapat di Kabupaten Rembang, yakni di jalur Rembang-Blora (Mantingan).
Asal Usul Nama Rembang?
Sumber lain tentang Rembang dapat diambil dari
sebuah manuskrip/tulisan tidak di terbitkan oleh Mbah Guru. Di
sebutkan antara lain: “…kira-kira tahun Syaka 1336 ada orang Campa
Banjarmlati berjumlah delapam keluarga yang pandai membuat gula tebu
ketika ada di negaranya…”Orang-orang tadi pindah untuk membuat gula
merah yang tidak dapat di patahkan itu.Berangkatnya melalui lautan
menuju arah barat hingga mendarat di sekitar sungai yang pinggir dan
kanan kirinya tumbuh tak teratur pohon bakau. Kepindahannya itu di
pimpin oleh kakek Pow Ie Din; setelah mendarat kamudian mengadakan do’a
dan semedi, kemudian di mulai menebang pohon bakau tadi yang kemudian di
teruskan oleh orang-orang lainnya.
Tanah lapang itu kemudian di
buat tegalan dan pekarangan serta perumahan yang selanjutnya menjadi
perkampungan itu dinamakan kampung : KABONGAN; mengambil kata dari
sebutan pohon bakau, menjadi Ka-bonga-an (Kabongan),…. Pada suatu hari
saat fajar menyingsing di bulan Waisaka; orang-orang akan mulai
ngrembang (mbabat,Ind : memangkas) tebu. Sebelum di mulai mbabat
diadakan upacara suci Sembayang dan semedi di tempat tebu serumpun yang
akan dikepras/di pangkas dua pohon, untuk tebu “Penganten”.Upacara
pengeprasan itu dinamakan “ngRembang”, sampai di jadikan nama Kota
Rembang hingga saat ini.”Menurut Mbah Guru, upacara ngRembang sakawit
ini dilaksanakan pada hari Rabu Legi, saat di nyanyikan Kidung, Minggu
Kasadha. Bulan Waisaka, Tahun Saka 1337 dengan Candra Sengkala : Sabda
Tiga Wedha Isyara.
Sumber: Buku “Menggali Warisan Sejarah Kab.
Rembang” Kerjasama Kantor Departemen Pariwisata dengan Pusat Studi
Sejarah dan Budaya Maritim Undip Semarang Tahun 2003
RADEN PANJI SINGOPATOKO
(KYAI ABDUL ROHMAN)
(KYAI ABDUL ROHMAN)
(Asal-usul Desa Gedug, Karangasem, Ngatoko, Telogo, Tapaan, Kasingan)
Pada tahun 1440-1490 Kadipaten Lasem diperintahkan oleh Prabu Santi
Puspo. Prabu Santi Puspo anak Prabu Santi Bodro. Prabu Santi Bodro anak
Prabu Bodro Nolo dengan Puteri Cempo. Prabu Bodro Nolo anak Prabu Wijoyo
Bodro. Prabu Wijoyo Bodro anak Prabu Bodro Wardono. Prabu Bodro Wardono
anak Dewi Indu/ Dewi Purnomo Wulan/ Prabu Puteri Maharani dengan Rajasa
Wardana. Dewi Indu adalah saudara sepupu Prabu Hayam Wuruk Wilotikto.
Dewi Indu pernah menjadi ratu di Kadipaten Lasem. Jadi Prabu Santi Puspo
masih keturunan raja-raja Majapahit.
Pada masa pemerintahan Prabu Santi Puspo, Kadipaten Lasem mencapai
keadilan dan kemakmuran. Rakyat hidup serba kecukupan tidak kurang suatu
apapun. Prabu Santi Puspo seorang dermawan, suka memberi pertolongan
kepada yang membutuhkan. Pada suatu saat Prabu Santi Puspo
berangan-angan ingin memperluas wilayah kadipatennya. Keinginan beliau
sangat kuat, maka dipanggillah Raden Panji Singopatoko untuk
melaksanakan tugas membuka hutan atau babat alas di sebelah selatan Desa
Kabongan terus ke selatan.
Pada hari yang ditentukan, berangkatlah Raden Panji Singopatoko
melaksanakan tugas. Raden Panji Singopatoko dibantu beberapa orang
pilihan yang loyal kepada pemerintah Kadipaten Lasem dan didampingi oleh
dua orang prajurit yaitu Ki Suro Gino dan Ki Suro Gendogo. Rombongan
dibagi menjadi dua kelompok. Sebelah barat dipimpin oleh Ki Suro Gino,
sedang sebelah timur oleh Ki Suro Gendogo.
Ketika mereka mulai membuka hutan, banyak sekali rintangan diantaranya
adalah gangguan yang dibuat oleh orang-orang yang tidak senang kepada
pemerintah Prabu Santi Puspo. Banyak prajurit yang terserang penyakit.
Gangguan itu juga datang dari binatang buas dan hewan berbisa. Gangguan
dan rintangan itu dihadapi oleh Raden Panji Singipatoko dan
prajurit-prajuritnya yang dipimpin Ki Suro Gino dan Ki Suro Gendogo
dengan tabah serta tekad dan semangat yang menyala-nyala, meski banyak
yang menjadi korban. Akhirnya semua rintangan dapat diatasi dan
pekerjaan terselesaikan dengan memuaskan. Hutan yang dibuka itu menjadi
desa yang sekarang disebut Desa Kunir dan Desa Sulang.
Raden Panji Singopatoko beserta rombongan meneruskan tugasnya membuka
hutan lagi, dari Sulang menuju ke barat daya. Dalam perjalanannya itu
Raden Panji pun telah siap siaga untuk menyerang dan membunuh harimau
itu. Keduanya terlibat dalam pergumulan yang seru. Raden Panji
Singopatoko tidak mau surut walau selangkah, terus maju pantang
menyerah. Raden Panji Singopatoko adalah seorang yang sakti mandraguna.
Akhirnya harimau itu lari dan tidak berhasil dibunuh oleh Raden Panji
beserta teman-temannya.
Raden panji Singopatoko beserta rombongannya merasa sangat lelah setelah
bertempur melawan harimau. Kemudian mereka beristirahat dan membuat
rumah untuk tempat peristirahatan. Di sela-sela istirahatnya, Raden
Panji berfikir memikirkan pelaksanaan tugasnya itu. Sebenarnya beliau
merasa belum dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, beliau kecewa.
Karena sebagai orang yang dipercaya oleh Prabu Santi Puspo untuk menjadi
pemimpin atau' "gegedug" (istilah zaman kerajaan) mestinya harus dapat
menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi.
Sudah menjadi kebiasaan orang-orang zaman dahulu apabila menghadapi atau
mengalami suatu masalah atau kejadian yang mengesankan dan penting,
maka diabadikan dengan suatu simbul atau ditengarai dengan tanda-tanda
yang dapat dikenang sepanjang masa. Oleh karena itu, untuk mengenang apa
yang sedang dipikirkan oleh Raden Panji Singopatoko itu, beliau
berkata, "Besuk kalau ada ramainya zaman dan tempat ini menjadi desa,
aku beri nama Desa "Gedug". Maka jadilah desa itu disebut Desa Gedug, sekarang
disebut Desa Sumbermulyo. Setelah beberapa saat mereka beristirahat,
lalu mereka melanjutkan perjalanan ke selatan untuk membuka hutan.
Pengalaman membuka hutan yang kemarin ternyata terulang disini. Banyak
rintangan dan gangguan yang dihadapi. Diantara mereka ada yang meninggal
karena terserang penyakit. Ada yang digigit binatang buas atau binatang
berbisa.
Raden Panji Singopatoko beserta rombongan bekerja dengan giat membuka
hutan. Setelah lama bekerja, mereka merasa lelah, lalu beristirahat di
bawah pohon asam yang besar. Ketika badan mereka sudah terasa segar, dan
hilang kelelahannya serta tenaga mereka telah pulih kembali. Raden
Panji bangkit sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu beliau berkata, "
Karena setelah kita beristirahat di tempat ini badan kita terasa segar
sekali dan disini tumbuh banyak pohon asam, maka kalau besuk ada
ramainya zaman, dan tempat ini menjadi desa aku beri nama Desa
Karangasem."
Dari Karangasem, Raden Panji Singopatoko melanjutkan tugasnya membuka
hutan ke arah tenggara di sebuah hutan yang masih banyak harimaunya.
Pada suatu hari, Ki Suro Gendogo menemukan goa yang cukup dalam. Di atas
goa ada seekor harimau betina. Ketika Ki Suro Gendogo mendekati goa,
harimau itu diam saja, tidak menyerang dan juga tidak pergi. Ki Suro
Gendogo lalu berfikir dan berkata dalam hati,
"Ada apa dengan harimau ini?".
Lalu Ki Suro Gendogo melihat ke dalam goa. Ternyata di dalam goa ada
seekor anak harimau yang jatuh ke dalam goa dan tidak dapat naik. Ki
Suro Gendogo berkata kepada harimau betina yang ada diatas goa itu, "Aku
mau menolong anakmu, tetapi anakmu aku minta dan akan aku pelihara
dengan baik." Akhirnya anak harimau itu diambil oleh Ki Suro Gendogo.
Oleh karena itu Ki Suro Gendogo menjadi terkenal kemana-mana karena
memelihara anak harimau itu. Setiap hari Jum'at, induk harimau itu
datang ke rumah Ki Suro Gendogo untuk memberi makan anaknya. Pagi
harinya pasti di luar rumah ada hewan yang mati, misalnya kijang, kera
dan sebagainya, karena dimangsa induk harimau itu. Desa tempat Ki Suro
Gendogo itu menjadi daerah yang ramai tumbuh menjadi pedukuhan, dan oleh
Raden Panji Singopatoko diberi nama Dukuh Ngatoko.
Setiap ada orang yang berniat jahat di Dukuh Ngatoko, tiba-tiba
didatangi seekor harimau. Sehingga niat jahatnya gagal. Setiap Raden
Panji Singopatoko memberi bimbingan dan nasehat serta tuntunan kepada
Panji Singopatoko, sehingga penduduk Ngatoko taat dan setia kepada Raden
Panji Singopatoko. Di bawah pimpinan Raden Panji, penduduk Ngatoko
hidup dengan aman, damai, tentram, dan sejahtera atas berkah Allah SWT.
Raden Panji Singopatoko juga tidak lupa mengajak rakyatnya untuk
menjalankan ajaran Agama Islam. Ki Suro Gendogo dan Ki Suro Gino tinggal
di Dukuh Ngatoko. Ki Suro Gendogo di Ngatoko Timur, sedang Ki Suro Gino
tinggal di Ngatoko Barat. Demikianlah kehidupan masyarakat Ngatoko
terus berjalan dengan tentram dan damai. Dan Raden Panji Singopatoko
akhirnya menjadi Kyai Ageng Ngatoko dan terkenal dengan sebutan KYAI
ABDUL RAHMAN
Pada suatu saat Raden Panji Singopatoko menginginkan suatu kehidupan
yang lebih tentram. Sejalan dengan usianya yang sudah mulai udzur,
beliau ingin mengurangi keterlibatannya dalam hiruk pikuknya kehidupan
duniawi ini. Beliau ingin bertapa di atas gunung atau punthuk di dekat
mata air atau telaga, guna merenungi dan tafakur tentang hakekat hidup
dan kehidupan serta lebih bertaqqarub kepada Allah SWT.
Di sekitar tempat Kyai Abdul Rahman bertapa, sekarang menjadi
perkampungan yang ramai, banyak orang yang bermukim di sini. Oleh Raden
Panji Singopatoko atau Kyai Abdul Rahman, kawasan itu diberi nama Dukuh
Telogo yang sekarang masuk di wilayah Desa Karangasem, Kecamatan Bulu.
Di dekat tempat pertapaan itu dibangun sebuah masjid lengkap dengan
kolahnya. Sampai sekarang bekas kolah tersebut masih dapat dilihat
berupa batu merah yang masih tersusun dengan baik. Daerah ini tidak
pernah kekurangan air karena ada telaga yang bagus sumbernya, bahkan
sumber air telaga ini disalurkan dengan pipa besar untuk memenuhi
kebutuhan penduduk Desa Telogo dan Karangasem.
Prabu Santi Puspo (Adipati Lasem), merasa berhutang budi kepada Raden
Panji Singopatoko, karena berkat perjuangan Raden Panji Singopatoko
wilayah Kadipaten Lasem bertambah luas, dan keadaannya aman dan tentram.
Sebagai balas budi Prabu Santi Puspo atas jasa-jasa raden Panji
Singopatoko beliau ingin mengambil Raden Panji Singopatoko sebagai adik
iparnya. Raden Panji dinikahkan dengan adik Prabu Santi Puspo yang
bernama Dewi Sulanjari. Maka dipanggillah Raden Singopatoko menghadap
Sang Prabu.
Setelah Raden Panji menghadap Sang Prabu, maka Sang Prabu menyampaikan
maksudnya. Raden Panji tidak dapat berbuat apa-apa dihadapan Sang Prabu.
Kecuali hanya menerima saja tawaran Sang Prabu. Akhirnya Raden Panji
Singopatoko menikah dengan adik Prabu Santi Puspo yaitu Dewi Sulanjari.
Pernikahannya dilaksanakan di rumah Raden Panji Singopatoko di Desa
Gedug (Sumbermulyo). Pada tahun 1472 Raden Panji Singopatoko dipanggil
lagi oleh Prabu Santi Puspo untuk menerima tugas baru yaitu membuka
hutan di sebelah barat daya Dukuh Kabongan. Raden Panji Singopatoko
segera melaksanakan tugasnya tersebut dan dibantu para prajurit yang
lain.
Berbulan-bulan lamanya Raden Panji Singopatoko membuka hutan ini.
Akhirnya berhasil dibuka dan tumbuh menjadi sebuah desa. Oleh Raden
Panji Singopatoko diberi nama Desa Kasingan. Raden Panji Singopatoko
memang seorang pemimpin yang arif bijaksana. Beliau mencintai
masyarakatnya, demikian juga masyarakatnya mencintai dan mentaati
pemimpinnya. Rakyat hidup rukun, damai, tentram dan sejahtera. Atas
pembinaan dan kepemimpinan Raden Panji Singopatoko, rakyat yang tinggal
di daerah-daerah yang telah dibuka oleh Raden Panji Singopatoko dapat
disatukan yang jumlahnya mencapai seribu orang. Oleh karena Raden Panji
Singopatoko dapat mempersatukan orang-orang lebih dari seribu maka
beliau dianugerahi oleh Prabu Santi Puspo, Adipati Lasem jabatan sebagai
penewu pada tahun 1485.
Pada tahun 1492 Raden Panji Singopatoko alias Kyai Ageng Ngatoko alias
Kyai Abdul Rahman, wafat. Sebelum wafat, beliau telah berpesan kepada
keluarganya, kalau beliau meninggal supaya dimakamkan didekat masjid
atau Tapakan Telogo Desa Karangasem yaitu Punthuk dekat Desa Watu
Lintang, sebelah barat daya Goa Watu Gilang.
Setelah Raden Panji Singopatoko wafat, jabatan Penewu digantikan oleh
putera beliau yang bernama Raden Panji Singonagoro. Sebagai penghargaan
dan penghormatan masyarakat Dukuh Telogo dan masyarakat Desa Karangasem
kepada Raden Panji Singopatoko alias Kyai Abdul Rahman, setiap tanggal
12 Bakda Maulud masyarakat menyelenggarakan peringatan wafat beliau atau
haul bertempat di makam Kyai abdul Rahman di Tapaan Dukuh Telogo Desa
Karangasem.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking